Tuesday, August 26, 2008

Panduan Membunuh Diri

Ziing.. ziiing... rambutku dikeringkan oleh seorang capster. Di depanku duduk seorang perempuan si pemilik salon sedang bercerita tentang mamanya yang membiarkan ia membentuk rambutnya sesuka hati dari kecil. Ia bercerita juga tentang adat pesta yang digemari keluarganya. Mengulik sedikit tentang mama papanya yang tinggal berbeda negara. Mama di Indonesia dan papanya di Portland. Ia terus bercerita sambil mengisap dan mengembuskan asap rokok di selipan dua jarinya.
“Udah cukup... jangan terlalu kering!” perintah si embak ke capster-nya.
Si stylist berdiri dan mengambil alih posisinya. Sekarang ia di belakangku, kami berdua pun lalu menghadap ke cermin. Ia masih dengan ceritanya.
Setelah itu,

“Liat ini!” Perempuan itu menuding nadi di pergelangan tangan kirinya.
Aku yang semula cuma melirik apa yang ia tunjukkan, begitu melihat ada yang beda, langsung menekatkan pandangan. Pembuluh nadinya sedikit menonjol dan berbelok.

“Ini udah tujuh kali gw potong, dan gw ga mati!” Si Stylist kembali mengisap dalam-dalam sebatang sigaret di selipan jarinya. *Set dah!*
“Gw uda nyoba macem-macem cara, yang gw masukin mulut.... Gw minum Baygon campur Superpell, hehe soalnya gw kan ga suka bau Baygon ya Bo… Itu juga ga mati.” Ia tertawa kecil. Aku pun tersenyum, kagum. Hebat juga mau bunuh diri masi mikir bau, suka ga suka.
“Gw minum obat panas gw abisin yang dikasi dokter tu, juga ga mati. Trus gw kan dulu ngdrugs ampe badan gw tuh beratnya Cuma empatpuluh kilo... *tulang? yup* Itu obat xxx gw minum sepuluh butir ada kali ya... Gw ga mati juga. Masuk ICU doang berkali-kali gw... tapi ga mati-mati. Selalu aja ada yang nyelametin gw...” Ia melanjutkan masih dengan senyum dan menggeleng-geleng.
*What the hell is this??!*
Aku terpaku menatap si stylist yang bercerita sambil memainkan rambutku. Satu tangan memegang sisir dan tetap menjepit sebatang LuckyStrike Menthol.

“Makanya, saran gw, elo Nish, kalo mau bunuh diri, mending langsung aja loncat dari atas gedung yang tinggi sekalian.” Perempuan itu berkata dengan tertawa-tawa. Aku cuma tersenyum bingung. Lalu aku mengamati mukaku di cermin. Emang aku ada tampang mau bunuh diri yah? *Belom kawin nih Mbak**

“Loh, kenapa Mbak ga loncat aja?” tanyaku.
“Gw takut ketinggian... Jadi belom nyampe atas udah takut duluan, batal de....” Si stylist terkekeh. Aku mengernyit dahi.
Emang masih ada yah rasa takut saat orang uda mau bunuh diri?

“Emang kenapa sih Mbak, pengen bunuh diri mulu?” Ragu-ragu aku menanyakan ini. Kuatir si embak nggak nyaman juga, tapi aku pengen tau.
“Sekarang lo liat gw... cantik kan gw?” Aku mengangguk.
Narsis juga ni Mbak...

“Gw tuh ngga minta dilahirkan cantik begini! Kalo gw bisa operasi plastik ganti muka, gw ganti de ni muka….Bener!” Si Stylist berapi-api. Lalu mengisap cigaretnya. Aku yang diam ini lalu diongengi tentang sexual abusive yang dialaminya sejak taman kanak-kanak, umur lima tahun, dengan muka datar. Digrepe, dicium dengan nafsu sama keluarga sendiri dan sebagainya, yang membuatku bergidik.

“Cowok mana yang nggak suka, bibir gw merah begini.” Si Stylist menunjuk bibirnya sembari menyalakan satu batang lagi sigaret baru. Lalu tersenyum, manis banget.

Hampir tanpa cacat. Muka tirus, kulit putih, idung lancip, mata cokelat dan senyum membentuk lesung pipit. Giginya putih rapi, bibir sedikit tebal berwarna merah jambu, padahal dia merokok sejak kelas tiga sekolah dasar. Rambut pendek bergaya cowok berwarna cokelat terang dengan hilight kuning. Kacamata membingkai mukanya membuat ia terlihat smart.

“But it was ya, Bo... Sekarang, gw punya suami yang sayang sama gw. Anak gw yang pertama udah kelas lima SD. Maklum ya, yang itu pernikahan dini…” Si Stylist tertawa-tawa. Dari suami pertamanya yang nggak bisa membuatnya bertahan.
“Yang kedua ini Kiara baru satu tahun…” Si Stylist lalu memanggil anaknya.

“Well, Gw bersyukur banget bisa seperti sekarang, kembali dekat dengan tuhan, thanx god, ternyata gw masih diberi kesempatan buat nemuin kebahagiaan, punya suami, punya anak-anak.…” Si Stylist mulai mengecat rambutku. Segenggam segenggam.

Aku pun bersyukur bisa ketemu seorang pemilik salon yang berjuang mati-matian *dalam arti mati-idup:D* menjalani hidup yang nggak mudah bagi siapapun. Setidaknya membuatku tau, ada yang baik dari yang buruk.
Tuesday, August 19, 2008

15 Menit Saja

Aku tersentak. Kubuka mata sedikit, melirik langit yang terlihat dari lubang angin di atas pintu yang sudutnya pas banget kalo diliat dari atas kasur. Masih gelap. Malam atau mendung sih itu? Pikirku. Tak butuh jawaban pandanganku beralih. Lampu kamar yang nggak sempat kumatikan semalam menerangiku melirik si batman yang menggantung di dinging dengan gagahnya.
Masih jam enam… terlalu pagi untuk memulai hari. Aku mengganti posisi tidur, dari tengkurap ke posisi miring memeluk guling.
*status single, tidur memeluk guling*
Tak lama…

Brmm brmmm… dukkdukkdukkdukk…*bener ga sih bunyinya gini?*
Berisik! Duuuh… siapa sih manasin motor pagi-pagi? Nggak tau sopan banget!

Hmm… aku membuka mata sedikit… menajamkan pendengaran, dan…
Ooo anak kos baru itu mau berangkat ngantor. Setelah merasa nggak terjadi apa-apa situasi aman terkendali, aku kembali memejamkan mata… terlelap.
Beberapa saat, lalu….
Ceklek ceklek…
Hrghh… Aku tersadarkan lagi. Jam berapa sih ini, si Tante udah berangkat? pikirku dengan mata masih terpejam.
Saatnya bangun. Tante udah berangkat. Sedikit menggeliat-geliat, aku buru-buru bangkit dan membuka pintu kamar tanpa bercermin. Memastikan apakah memang benar itu si Tante.
“Pagi bener berangkatnya Tant? Gue aja baru bangun…,” sapaku basa-basi.
Si tante senyum terpaksa, melangkah ke arahku, menunjukkan giginya sedikit,jalan mindik-mindik melewatiku, mengambil jarak sejauh mungkin dari tempatku berdiri. Persis gaya cewek lagi digodain cowok.
“Hehe iya, Nish, berangkat dulu yah….” jawabnya basa-basi juga.
“Iya tante…. Ati-ati…” Pandanganku mengikuti langkahnya. Lalu mengarah ke langit, sedikit melamunkan warnanya yang abu-abu.
Jarang sekali Jakarta seperti ini.
Bakal hujan nggak yah…
Kalo hujan aku basah ke kantor, berarti aku harus berangkat cepat sebelum beneran hujan, aku masuk kamar.
Belok ke cermin… wiuhh… rambutku… yang tidak hitam ini berdiri semua, so rock n roll, Maan! Jadi inget Duran-duran, grup band kebanggaanku waktu SMP. *ketauan banget idup di jaman apa*
Atau lebih mirip singa bangun tidur? Entahlah, nggak begitu ingat singa kalo bangun tidur. Aku acak-acak rambutku. Pantes si tante mindik-mindik. Lalu kulihat mataku hmm banyak juga kotorannya, pantes lengket. Kukorek-korek dikit, berjatuhan, mengerjap-ngerjap.. haha.. mataku bebas nggak lengket lagi. Aku masih mematut diri di depan cermin, seyum-senyum nggak jelas.

Nggak lama….
Ceklek ceklek…
"Niiiish… duluan yaa!!" seru temanku sebelah kamar…
“Iyaaa… ati-ati ya” jawabku malas. Lalu kembali pada cermin.

Haaahh?! Kok dia udah berangkat?!
Aku liat si batman pipinya ilang setengah… 8.15!
Aku mandi aja belom! Ketiga teman sekantorku udah berangkat.
Yang terakhir ini pun udah berangkat.
Kalau yang terakhir ini berangkat itu artinya udah sangat siang… karena dia teman seperjalananku menuju kantor.
Hiyaaaa… aku melesat masuk kamar mandi, daan....

Aku memasang sepatu. Melirik Batman lagi… 8.30. Aku tersenyum.
Cool guys! Let’s go to work!
Hmm… cuma butuh waktu 15 menit buat semuanya….
Besok bisa dicoba lebih cepat lagi nih….
Efektif dan efisien. Mangkus dan sangkil menurut KBBI:D

Sunday, August 10, 2008

Nunggu 'Dibeli' Pak?

Potongan-potongan daging sapi itu dicelupkan ke dalam secangkir minyak sayur, sejenak kemudian diangkat lagi lalu diletakkan berjejer di tungku yang penuh kumpulan arang memerah.
Penjual sate padang di depanku mulai membelah ketupat seukuran telapak tangannya, memotong dadu di atas piring milik pembeli di sebelahku.
“Yang satu nggak pake ketupat ya Pak….” ujar si embak.
“Yang satu ketupatnya dua, kan?” tanya si bapak penjual sate. Mendengar si bapak bicara aku teringat gaya bicara seorang teman yang baru kujumpai sekitar lima jam sebelum aku berdiri mengantri sate.
Padang!

Iyalah, masa penjual sate padang orang Madura?
Hm... bisa jadi logat itu dibuat-buat untuk meyakinkan pembeli.

Si bapak menyiram kotak-kotak ketupat dan sate yang sudah dibakar dengan bumbu kental coklat kemerahan. Selesai, mbak di sebelahku pun pergi. Si bapak mulai mengipas-ngipas sate pesananku.

Demi menjawab keraguanku tentang keaslian logat si Bapak, aku pun bertanya basa-basi, “Bapak orang Padang, ya?”
Si bapak yang dari tadi cemberut langsung menjawab, capet, “Iya Mbak.”

“Sukunya apa Pak?” tanyaku ragu-ragu, takut si bapak lagi badmood. Maksudku kali ini sih, sedikit ngetes pengetahuan si bapak.
*Padahal kalaupun si bapak menyebutkan juga aku nggak tau suku-suku di Minang ada apa aja*
“Saya Kotto,” jawab si bapak. *maaf kalo salah tulis*
Aku diam. Tak bereaksi… karena… iyaa… nggak tahu!

“Pariaman.” lanjut si bapak menjawab muka begoku.
Baru aku bisa ber oo panjang, “Oooooo… Pariaman….”
“Iya, jadi Mbak… di Pariaman itu ada macam-macam, ada suku… bla bla bla… nah saya itu masuk yang… blablabla…” *maaf sudah lupa* Si bapak yang tadinya cemberut jadi semangat menjelaskan.

Di otakku Pariaman itu… temanku, perempuan, yang orang tuanya mengeluarkan uang sekitar lima puluh juta rupiah untuk ‘membeli’ calon suami temanku, *laki-laki*. Bukannya segera menikah setelah uang itu diserahkan, si calon suami malah selingkuh dengan perempuan lain, dan temanku itu setelah satu tahun menunggu, baru tahu kelakuan calon suaminya. Ia minta balik ‘pemberiannya’, tapi laki-laki itu memilih untuk menikahinya saja dengan melepas sementara selingkuhannya itu. Mereka Pariaman.

Teringat juga temanku, laki-laki, yang ‘diminati’ orang tua dari seorang perempuan, tapi dia nggak pernah tau ujud si anak perempuan itu. Namun, si ibu perempuan itu menanyakan ke ibu temanku, dan ibu temanku itu menolak. Temanku yang laki-laki ini sempat menyesal dengan keputusan ibunya yang menurutnya terlalu terburu-buru, karena kabar dari saudara-saudaranya, si anak perempuan ini cantik.
Nggak usah tanya ‘sebagus’ apa temanku itu sampai ada ibu-ibu yang mau membeli dia untuk anaknya.
*Ibu itu pasti sedang meracau efek sebotol JackD*

Bek tu si bapak.
Dengan pengetahuanku yang minim itu aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi.. ada kekuatiran, dan...

“Di suku Pariaman itu kalo menikah perempuannya harus membeli lakinya ya, Pak?” aku bertanya juga.
“Iya Mbak, bener.” Si bapak menghentikan kalimatnya.
“yaah, itu enak buat laki-laki yang sukses Mbak, pendidikan tinggi... karyawan kantoran... punya jabatan... kalo penjual sate seperti saya ini siapa yang mau beli…” lanjut si bapak.
*Oops*
“Tapi bapak sekarang udah punya keluarga, kan?” tanyaku dengan senyum lebar.
“Belom Mbak,*oops again..* saya nunggu dilamar, tapi siapa yang mau 'beli' saya, penjual sate, nggak jelas penghasilannya begini…. Perempuan juga mikir lah Mbak, beli laki' kok kayak saya….”
*serasa ditampar*

“Kenapa Bapak nggak menikah sama perempuan di luar Pariaman aja?” tanyaku dengan maksud, ‘Apa nggak boleh, Pak?’

Tiba-tiba si bapak diam, lalu menjawab, “Ya, beda adat nggak nyaman, Mbak…” Dahinya langsung berkerut. *weks, salah lagi niih…*

Si bapak menyerahkan sebungkus sate padang ke arahku. Aku reflek mengulurkan uang yang sedari tadi kugenggam. Si bapak menerimanya, aku berterima kasih sambil tersenyum basa-basi *si bapak cuek* lalu melangkah pergi.

Pariaman, matrilineal…
Adat? Nggak nyaman?

Semoga lain waktu si bapak mau menjelaskan.
*Maafkan saya Pak*
Tuesday, August 5, 2008

Menjadi Jamban

Aku melirik jam dinding Batman di kamarku. 21.00.
Ini malam, dan dia baru datang.
*Dia temanku yang kukenal sambil lalu karena aku tersenyum padanya saat berbarengan berangkat kerja suatu pagi, lalu menyapa, ngobrol sedikit, dan sekarang dia di sini, di kamar kosku*
Setelah ngobrol basa-basi sesaat baru aku bisa memastikan dia butuh teman buat jadi jamban. *lebih nista dari keranjang sampah*


“Gue tendang-tendang gini cowok gue.”
Wohoho… ia mengangkat kakinya memperagakan caranya nendang.
“Gue teriak-teriak kenceng banget, nggak ada yang denger!” Ia berkata sambil mendelik, meyakinkanku.
“Aneh kan?”

“Terus gue digampar, pluaak!” Ia menampar pipinya sendiri.
“Gue langsung lemes! Nggak bisa apa-apa. Rasanya periih banget, mata gue sampe mendadak rabun. Trus, dagu gue dinaikin sambil dicekek gini.” Ia memperagakan dengan mata melotot, meyakinkanku.
*Hii serem, ingat film hantu*
“Ah, udalah pasrah aja daripada nglawan malah mati,” ujarnya enteng.

Ditampar, mungkin ini yang kurang di hidupku, tapi mendengarnya saja rahangku sudah ngilu. Dia terus bercerita, sementara aku melihatnya dengan perasaan miris dan muka kuusahakan, tenang. Aku cuma bisa tersenyum dan menggeleng-geleng. Takjub. Membayangkan kepalan tangan seorang TNI *yang suka megang gunting rumput besar buat motong rumput selapangan tembak* menampar perempuan kurus di depanku.

Laki-laki TNI itu calon suami yang dipilihkan orangtuanya, dan tidak jadi menikah karena laki-laki itu harus bertanggung jawab ke perempuan lain, hamil.

“Trus orangtua lo nggak tau?” tanyaku dengan nada suara kuatur.
“Akhirnya gue crita, mama nangis… gue pikir mama insap,”
*Oops… Ok, what else?*
“Eee malah gue yang ditampar sama mama. Gini katanya, ‘Bodoh banget jadi perempuan nggak bisa jaga diri! Nggak punya otak! Mau jadi apa kamu sekarang?!’ Plak! Mama tuh nangis tapi bisa nampar. Ya gue tinggal pergi aja, aahh, mama tidur sama cowoknya di rumah pas papa nggak ada gue diem aja.”
Ia menjelaskan dengan kesal.

Jadi mamanya selingkuh, dan temanku ini pernah nge-gap mamanya lagi cipokan sama cowok itu. Mamanya yang nggak nyadar kedatangan anaknya, langsung kaget ngeliat temanku itu udah berdiri menatapnya.
“Loh, kok udah pulang?” kata sang mama. *Di otakku mamanya berkata sambil membenahi baju *
“Ya, gue bisa balik lagi kok nginep di rumah temen,” jawab temanku itu. Lalu ia pergi.
Hmm… bisa nggak sih adegannya diganti? Pikirku. Standar sinetron banget. Tapi, ini bukan adegan sinetron, karena sinetron nggak mungkin melibatkan TNI.

24.30 temanku pamit pulang.
Dia pergi dengan senyum lebar, mungkin lega.
Aku, sesak napas. Baru bisa tidur jam tiga pagi. Ngantor, telat.
Nasib jamban.
Sunday, August 3, 2008

Hey You, Bastard!

Brukk brukk brukk….

Aaaaw sakit tau! Normal dikit dong jalannya… Gue tau lo capek. Gue lebih capek lagi dari pagi lo pake!
Eit eit… nglepasnya yang bener dong, jangan diadu gitu. Uuuhh… kulit gue ngelupas nanti. Udah nggak pernah ngerawat gue… seenaknya aja!
Sekarang…. Oohohoo, geletakin aja gue di luar semaleman… again and again.
Cukup! Buka pintunya! Gue mau di dalam!
Hooiiii… Bastard! Kayak nggak butuh gue aja lo…. Berengsek!


Dingin, untung nggak hujan… Ah, mending ujan. Basah sekalian deh gue, paling nggak besoknya bisa istirahat... Biar nggak bisa masuk tapi kalo siang masih hangat. Banyak yang bisa diliat lagi. Mendingan banget laah.
Terus... gue pasti dimandiin karena gue basah dan dekil, malu dong dia kalo gue dekil. Tapi, dia bisa make si buduk kampring itu, dan gue, mandi sendiri aja deh gue....

Aaah percuma juga ngarepin ujan turun, ini musim kering. Angin doang kenceng. Debu lari ke mana-mana. Udah buluk gini kulit gue, masi aja ditempeli debu-debu. Untung gue nggak perlu Tolak Angin buat ngusir angin dari badan gue.

Hampir tiap malam kayak gini. Hff... gue bisa apaa?
Nggak pernah lagi dia mandiin gue, nggak pernah lagi dia ngusap-ngusap gue, make gue pun sekarang kasar. Keburu-buru. Maksa. Lepasin gueee!

Sekarang…. Gue cuma butuh masuk, nggak ganggu elo, Bego!
Woiiii... masukin guee, Berengsek!
Gantian lo yang di luar, berani nggak lo, Tolol!


*Kira-kira begini gumaman sepasang sepatu putih (bercorak debu) yang menemani langkahku setiap hari*
“Maafin gue... kalo lo buduk gue beli yang baru... Sepatu Bodoh!”

Ke-gap Malem-malem

Di dalam kamar, suatu malam….
“Bubyee….” Aku mengakhiri pembicaraan di telepon. Setelah di kuping tidak terdengar suara, handphone aku geletakkan di meja.

Terdengar suara ribut dari halaman depan kamar. Aku mulai memasang telinga. Suara berdebum beberapa pasang kaki berlari. “Pacaran mulu! Keluarin tu cowoknya, keluarin!”
Kletek… pagar dibuka. Beberapa orang masuk halaman.
“Ini udah malem! Hoi, pulang!!” teriak salah seorang dari mereka, laki-laki.
“Ayo pulang! Besok aja lagi pacarannya….” teriak suara yang lain lagi. Sama,laki-laki.


What?! Siapa nih?! Temen kosanku berani masukin cowok ke kamar?
Bego! Kayak nggak ada tempat laen aja…
Lagi miskin kali…
Oops temen kosku? Ini serius…. Dia butuh pertolongan.

Kudekati pintu, ragu. Mabok nggak orang-orang ini?
Kemungkinan yang ada di otakku adalah orang-orang itu salah paham seperti kejadian sebelumnya, kakak kandung yang sedang berkunjung dikira pacarnya, atau memang teman kosku lagi brutal. Sikapku? Persetan, dipikir nanti.
Baru setengah kubuka pintu, terlihat beberapa orang memasuki halaman tanpa permisi.
Kesal. Seenaknya saja mereka.
Lalu….

“Hrrrrr…” Seekor kucing mengerang di depanku, dengan ekor mengibas-ngibas. Dua meter di depannya, kucing kuning pun berkelakuan sama. Tak jelas mau kawin atau mau berantem tu kucing.

“Ayo pulang! Mau ke mana kamu? Pacarannya besok aja lagi.”
“Ceweknya juga tuh kalo lagi pacaran terus-terusan!” sahut salah satu dari sekitar lima orang berkelamin laki-laki di depanku.
Okay, ini kucing. Bukan teman kosku.
Setelah dipanggil-panggil tu kucing seperti mengerti apa yang diperintahkan, berjalan mendekati kumpulan lelaki itu. Salah satu dari mereka meraih, menggendongnya, lalu pergi sambil terus mengomeli kucing itu. Diikuti bubarnya kerumunan itu.
“Permisi Mbak, maaf ganggu, ini nggak mau pulang, udah masuk kamar keluar lagi….” pamit salah satu dari mereka sambil kembali menutup pagar.

Aku, tersenyum pun tidak, di depan pintu, shock.
Kucing? Pacaran? Sejak kapan?
Seingatku kucing itu hewan yang paling sering kutemukan ML di jalanan tanpa permisi. *Miauw… maap, saya mau have fun dulu:D* Baik, mungkin aku salah memaknai kata ‘pacaran’.

Mereka semua laki-laki… *kucingnya juga*

Teman kosku datang medekat, bertanya, “Ada apa?” Aku cuma bisa menjawab, “Nggak pa-pa, cuma kucing.”
“Kok bisa?”
Aku diam. Lalu tertawa.
Thursday, July 31, 2008

Kuningan Suatu Sore

Mobil-mobil menjejal di jalan enam ruas wilayah Kuningan. Bersama seorang teman aku terdiam di dalam mobil yang cuma bisa berjalan setengah meter setelah berhenti tiap lima menit. Penat, bosan, hingga tak ada lagi yang ingin kubicarakan dengan teman di sampingku. Begitu juga dia, mungkin. Sekali lagi, genap sepuluh kali mulut ini menguap, lebar, cuma karena kesal. Selalu begini, Jakarta sore hari.

Aku melihat balon udara, di sela gedung-gedung peraih langit, pemandangan di sampingku sedari tadi. Balon yang sangat bulat, kuning kemerahan seperti bulatan tengah telur mata sapi yang digoreng setengah matang. Aku terus memandang kosong ke balon udara itu.

Melambai ke udara, pasti menyenangkan ada di atas sana, pikirku. Bisa melihat semuanya atau teriak sepuasnya. Bebas… bebas…. Mau apa pun, bebaaass…. Tinggal mengikuti angin dan bebaaas….

Tapi, aaah nggak… nggak enak ada di atas sana, terik sekali, bisa kering dagingku ini nanti.
Lalu aku tersenyum sendiri, membayangkan badanku yang bugar ini kering dan renyah seperti keripik. Kriuus krius kalau dikunyah.

Setelah temanku membelokkan mobilnya, tiba-tiba mataku terganggu, harus menyipit untuk bisa melihat ke depan. Balon udara itu mengeluarkan cahaya yang mengganggu sekali.
“Loh, itu matahari yah?” tanyaku pada teman di sebelahku.
“Iya.” Temanku yang dari tadi melihat ke depan menoleh cepat dengan mata membelalak bingung.
“Hah?! Beneran?” Aku masih tak percaya.
“Iya. Aah kayak nggak pernah liat matahari aja lo....” Temanku mungkin menganggap aku berlebihan. Tapi sumpah sedari tadi aku kira itu balon udara iklan yang biasa dipasang perusahaan rokok atau telekomunikasi.
Aku, tidak pernah melihat matahari?
“Iya, udah lama gw nggak liat matahari jam segini… Bagus, yah?” jawabku datar sambil terus menatap ke depan.
Temanku cuma memandang aneh ke arahku. “Matahari doang…” sahutnya.
Aku cuma tersenyum. Selain karena waktu pulang kerjaku selalu setelah matahari pergi, juga aku tak pernah suka melihat matahari di Jakarta. Jangankan menatap, terkena sinarnya sedikit saja aku sudah gusar.

Terakhir aku menatap matahari sebulat dan se-orange ini… di laut. Di kampung sewaktu pulang lebaran. Bukannya berkunjung ke rumah sanak saudara, aku malah pergi ke laut.
Menikmati gelombang laut yang mulai pasang. Aaahh nikmat sekali… melihat gulungan ombak yang sedikit membuatku takut. Kalau ombaknya terlalu besar aku berlari menjauh ketakutan sambil berteriak sekuatnya, lalu terbahak. Kalau ombaknya mengecil, aku berlari mendekat menjemput sisa ombak yang akan membalut kakiku, sebentar, lalu aku menepuk-nepuk air yang menyerang kakiku. Aku kembali terbahak karena cipratannya membasahi bajuku sendiri. Lalu air itu pergi lagi… meninggalkan kakiku dalam dekapan pasir putih. Saat itu matahari bulat orange ada di depan mata. Sesaat aku menatapnya. Tak berpikir apa-apa.

Laut, matahari bulat orange, dan kecupan di keningku. Kecupan lelaki kecil yang menemaniku bermain di laut waktu itu. Ciuman yang mungkin tidak akan pernah kurasakan lagi. Hangat, membuatku diam setelah terbahak.

Matahari di depanku sudah tidak ada. Sembunyi di belakang gedung-gedung, kotak-kotak menjulang. Dan temanku, sudah membelokkan mobil ke sebuah mall, tempat kami bertemu orang untuk membicarakan… pekerjaan.