Thursday, July 31, 2008

Kuningan Suatu Sore

Mobil-mobil menjejal di jalan enam ruas wilayah Kuningan. Bersama seorang teman aku terdiam di dalam mobil yang cuma bisa berjalan setengah meter setelah berhenti tiap lima menit. Penat, bosan, hingga tak ada lagi yang ingin kubicarakan dengan teman di sampingku. Begitu juga dia, mungkin. Sekali lagi, genap sepuluh kali mulut ini menguap, lebar, cuma karena kesal. Selalu begini, Jakarta sore hari.

Aku melihat balon udara, di sela gedung-gedung peraih langit, pemandangan di sampingku sedari tadi. Balon yang sangat bulat, kuning kemerahan seperti bulatan tengah telur mata sapi yang digoreng setengah matang. Aku terus memandang kosong ke balon udara itu.

Melambai ke udara, pasti menyenangkan ada di atas sana, pikirku. Bisa melihat semuanya atau teriak sepuasnya. Bebas… bebas…. Mau apa pun, bebaaass…. Tinggal mengikuti angin dan bebaaas….

Tapi, aaah nggak… nggak enak ada di atas sana, terik sekali, bisa kering dagingku ini nanti.
Lalu aku tersenyum sendiri, membayangkan badanku yang bugar ini kering dan renyah seperti keripik. Kriuus krius kalau dikunyah.

Setelah temanku membelokkan mobilnya, tiba-tiba mataku terganggu, harus menyipit untuk bisa melihat ke depan. Balon udara itu mengeluarkan cahaya yang mengganggu sekali.
“Loh, itu matahari yah?” tanyaku pada teman di sebelahku.
“Iya.” Temanku yang dari tadi melihat ke depan menoleh cepat dengan mata membelalak bingung.
“Hah?! Beneran?” Aku masih tak percaya.
“Iya. Aah kayak nggak pernah liat matahari aja lo....” Temanku mungkin menganggap aku berlebihan. Tapi sumpah sedari tadi aku kira itu balon udara iklan yang biasa dipasang perusahaan rokok atau telekomunikasi.
Aku, tidak pernah melihat matahari?
“Iya, udah lama gw nggak liat matahari jam segini… Bagus, yah?” jawabku datar sambil terus menatap ke depan.
Temanku cuma memandang aneh ke arahku. “Matahari doang…” sahutnya.
Aku cuma tersenyum. Selain karena waktu pulang kerjaku selalu setelah matahari pergi, juga aku tak pernah suka melihat matahari di Jakarta. Jangankan menatap, terkena sinarnya sedikit saja aku sudah gusar.

Terakhir aku menatap matahari sebulat dan se-orange ini… di laut. Di kampung sewaktu pulang lebaran. Bukannya berkunjung ke rumah sanak saudara, aku malah pergi ke laut.
Menikmati gelombang laut yang mulai pasang. Aaahh nikmat sekali… melihat gulungan ombak yang sedikit membuatku takut. Kalau ombaknya terlalu besar aku berlari menjauh ketakutan sambil berteriak sekuatnya, lalu terbahak. Kalau ombaknya mengecil, aku berlari mendekat menjemput sisa ombak yang akan membalut kakiku, sebentar, lalu aku menepuk-nepuk air yang menyerang kakiku. Aku kembali terbahak karena cipratannya membasahi bajuku sendiri. Lalu air itu pergi lagi… meninggalkan kakiku dalam dekapan pasir putih. Saat itu matahari bulat orange ada di depan mata. Sesaat aku menatapnya. Tak berpikir apa-apa.

Laut, matahari bulat orange, dan kecupan di keningku. Kecupan lelaki kecil yang menemaniku bermain di laut waktu itu. Ciuman yang mungkin tidak akan pernah kurasakan lagi. Hangat, membuatku diam setelah terbahak.

Matahari di depanku sudah tidak ada. Sembunyi di belakang gedung-gedung, kotak-kotak menjulang. Dan temanku, sudah membelokkan mobil ke sebuah mall, tempat kami bertemu orang untuk membicarakan… pekerjaan.